Jamaah masjid baiturahman yang dimuliyakan Allah alhamdulillah semua dokument kegiatan Idul Addha telah teruplood semoga menjadi lebih semangat dalam beramal sholeh INSYA ALLAH KLIK AJA DI LINK INI
Home » Archives for 2014
Senin, 06 Oktober 2014
Minggu, 05 Oktober 2014
ALHAMDULILLAH SHOLAT IDUL ADHA 1435 H TELAH BERLANGSUNG
Ahad, 5 Oktober 2014 di Masjid Baiturahman jam 06.00 Wib masjid telah terisi jamaah sholat idul adha, dengan kondisi cuaca yang mendukung terang maka menjadikan motifasi tersendiri di dalam jamaah sholat Id'. begitu juga dengan proses penyembelihan hingga pembagian daging kepada mustahik berjalan dengan lancar.
beberapa dokument dari foto inilah sekilas tenatnag prosesi idul adha di masjid baiturahman medini 2014/1435H lebih lengkap di cek foto baiturahman
beberapa dokument dari foto inilah sekilas tenatnag prosesi idul adha di masjid baiturahman medini 2014/1435H lebih lengkap di cek foto baiturahman
]
Jumat, 03 Oktober 2014
BERKURBAN ADALAH IBADAH
- admin
- October 11, 2012
- No Comments
- Tags: 'ied, adha, darussalaf, domba, dzulhijjah, hewan, ibadah, ibnul qoyyim, kambing, ma'had, qurban, salaf, salafy, sapi, sembelihan, sunnah, unta
Allah Azza Wa Jalla berfirman,yang artinya :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya shalatku,”nusuk”-ku,hidup dan matiku hanyalah untuk Rabb semesta alam.” (QS.Al – An’am : 162)
Kata “nusukiy”, diantara maknanya adalah
sembelihanku. Al Imam Al Qurthubi berkata ; nusuk merupakan bentuk
jamak dari nasikah yang bermakna sembelihan qurban. Sebagaimana telah
dikatakan oleh Mujahid,Adh Dhahaq,Said bin Zubair dan ahli tafsir selain
mereka.
Berpijak dari sini, jangan sampai kita beranggapan bahwa pelaksanaan
ibadah qurban, merupakan rutinitas tahunan belaka, sehingga yang dibahas
berkisar masalah teknis dan pembagian tugas saja.Memang manajemen
qurban penting dan krusial bagi keberhasilan kegiatan qurban
tersebut,akan tetapi ada yang lebih penting lagi yakni kesadaran
personal dari setiap yang terlibat, bahwa penyembelihan qurban itu
adalah ibadah. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengikhlaskan niat dan
tujuannya hanya untuk Allah Azza Wa Jalla. Bukan karena riya’ dan sum’ah
serta tendensi duniawi lainnya. Konsekuensi lainnya adalah
pelaksanaan penyembelihan qurban itu harus sesuai dengan tuntunan nabi
kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, sehingga terpenuhi sudah dua
kriteria utama dari syarat diterimanya sebuah amalan. Sehingga kita
dapati pula dalam kitab – kitab fiqih para ulama baik yang terdahulu
maupun sekarang, pembahasan tentang tata cara penyembelihan qurban ini.Kapan Dikatakan Hewan Terkena Hukum-hukum Qurban?
Hewan terkena hukum- hukum qurban dengan salah satu dari dua perkara :
1. Dengan lafadz, seperti ucapannya “ini adalah hewan sembelihanku” maksudnya dia menginformasikan bahwa dia akan berqurban dengan hewan itu pada waktu mendatang.
2. Dengan perbuatan, dan ini ada dua macam, antara lain:
a. Menyembelih hewan itu dengan niat berqurban.Maka,ketika ia menyembelih dengan niat seperti ini berlakulah hukum qurban pada hewan tersebut.
b. Membeli hewan tersebut dengan niat untuk berqurban.
Bila telah demikian keadaannya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan hewan qurban tersebut.
1. Tidak boleh menggunakan hewan tersebut pada perkara yang mencegahnya/menghalangi untuk disembelih, seperti diperjualbelikan, dihibahkan, dijadikan jaminan, dan lainnya.
2. Jangan mengeksploitasi hewan tersebut, maka jangan digunakan pada
usaha pertanian dan sebagainya,jangan ditunggangi, jangan diperah
susunya yang bisa menguranginya atau mengurangi susu yang sedianya
dibutuhkan oleh anaknya, dan jangan mencukur bulunya kecuali bila ada
manfaat bagi hewan tersebut dan bulu hasil cukuran jangan dijual namun
disedekahkan.
3. Bila hewan itu disembelih sebelum waktu penyembelihan, walau niatnya
untuk berqurban, maka hukumnya seperti hewan yang hilang. Maksudnya
harus diganti dengan yang semisalnya.
Syarat dan Adab BerkurbanSebagaimana yang telah kita ketahui untuk unta dan sapi boleh berserikat tujuh orang, sedangkan kambing baik jenis dha’n (domba,biri-biri) ataupun ma’iiz (kambing kacang) hanya untuk satu orang.
Bagi si penyembelih qurban dan cara penyembelihannya, memiliki hukum – hukum dan adab-adab. Adapun yang berkaitan dengan orang yang menyembelih hewan qurban harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1) Pelaku penyembelihan hewan qurban adalah orang yang waras akalnya dan mumayyiz, artinya mengerti pembicaraan dan mampu merespon pertanyaan dengan jawaban yang semestinya. Maka tidak halal sembelihan orang yang gila,mabuk karena miras atau narkoba atau anak kecil yang belum mumayyiz.
2) Hendaknya si penyembelih adalah seorang muslim atau seorang ahli
kitab yaitu orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada agama yahudi
atau nashrani. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya : “Dan
tha’am orang ahlu kitab halal bagi kalian.” Maksud tha’am disini adalah
sesembelihan ahli kitab,dan ini adalah perkataan Ibnu Abbas, Abu Umamah,
Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, As-Sudy, Muqathil bin Hayyan. Dan Ibnu
Katsir berkata : Ini merupakan kesepakatan para ulama bahwa sesembelihan
ahli kitab halal bagi kaum muslimin. Oleh karena itu Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam makan daging kambing yang dihidangkan kepada
beliau dari seorang wanita yahudi, seperti dalam riwayat Abu Dawud dan
Al Hakim.
3) Hendaknya dia bertujuan menyembelih qurban karena ibadah,
sebagaimana firman Allah Azza wa jalla yang artinya : “ diharamkan
bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala (QS.
Al Maidah :3). Maka menyembelih merupakan perbuatan yang khusus yang
membutuhkan niat. Apabila ia tidak berniat untuk menyembelih qurban
karena Allah, maka tidak halal sembelihannya tersebut,seperti misalnya
apabila ia diserang hewan tersebut kemudian memotongnya untuk membela
diri, maka sembelihannya tidak halal.
4) Hendaknya hewan sembelihan tersebut tidak untuk selain Allah.
Apabila sembelihan itu diperuntukkan untuk selain Allah maka tidak halal
untuk dikonsumsi. Seperti menyembelih hewan ternak untuk pengagungan
kepada berhala, gua , jin penunggu lembah, penghuni kubur dan
sebagainya. Allah Azza Wa Jalla berfirman, yan artinya : “ diharamkan
bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan diharomkan bagimu yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah :3).
5) Tidak menyebut selain nama Alah ketika menyembelih hewan tersebut.
Misalnya menyebut nama nabi,Jibril atau seseorang yang lain. Bila ia
melakukannya maka seembelihannya tidak halal, walaupun disebut nama
Allah berbarengan dengan nama selain Allah.
6) Menyebut nama Allah Azza Wa Jalla ketika menyembelih hewan qurban
tersebut. Alloh Jalla Wa ‘Ala berfirman yang artinya : “ Maka makanlah
dari binatang – binatang yang disebut nama Allah ketika menyembelih,bila
kamu beriman kepada ayat-ayat-NYA. (QS. Al An’am :118). Dan Rasulullah
Bersabda : “ Apa saja dari hewan yang ditumpahkan darahnya dan disebut
nama Allah ketika menyembelihnya maka makanlah.” (HR.Al Bukhary dan
lainnya).Bila si penyembelih adalah orang yang bisu, tidak mampu bicara,
maka isyarat sudah cukup baginya, Allah berfirman yang artinya : “Maka
bertaqwalah kepada Allah semampu kalian. “(QS.Ath-Taghabun:16).
7) Hendaknya yang menyembelih menggunakan alat yang sangat tajam
sehingga dapat mengalirkan darah. Karena Rosululloh bersabda :”Apa saja
yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Alloh ketika
menyembelihnya maka makanlah, selama bukan menggunakan gigi atau kuku
dan saya akan memberitahu kalian tentan hal itu, adapun gigi dia adalah
tulang dan adapun kuku adalah alat berburu orang-orang habasyah.” (HR.
Al Jama’ah). Dan ada dua tanda yang menunjukkan bahwa ruh hewan tersebut
masih ada pada jasadnya :
a. Hewan itu masih bergerak
b. Mengalir dari hewan tersebut darah yang deras.
a. Hewan itu masih bergerak
b. Mengalir dari hewan tersebut darah yang deras.
8) Mengalirkan darah disini adalah dengan menyembelihnya, bila tidak
mampu untuk disembelih karena hewan tersebut mengamuk,berusaha kabur
atau jatuh kedalam sumur misalnya,maka cukup dilukai pada bagian mana
saja dari badannya, meskipun yang lebih utama adalah bagian badan yang
cepat menghilangkan nyawanya.
Bila mampu menyembelih dengan normal, maka sembelihlah pada leher sampai dibawah rahangnya dengan memutus dua urat leher tebal yang menempel dengan kerongkongan, dan lebih sempurna bila memotong kerongkongannya, saluran nafas dan saluran makanannya.
9) Hendaklah yang menyembelih mendapat izin secara syar’i dari pemilik hewan qurban tersebut.Bila mampu menyembelih dengan normal, maka sembelihlah pada leher sampai dibawah rahangnya dengan memutus dua urat leher tebal yang menempel dengan kerongkongan, dan lebih sempurna bila memotong kerongkongannya, saluran nafas dan saluran makanannya.
Disamping memenuhi syarat-syarat diatas, juga seyogyanya memperhatikan adab – adab berikut :
1. Menghadapkan hewan sembelihan ke arah qiblat ketika menyembelihnya.
2. Berlaku baik dalam menyembelih hewan qurban, yakni dengan menggunakan
alat yang tajam dan melakukan pemotongan dengan kuat dan cepat.
3. Dan menyembelih onta dalam keadaan berdiri dan terikat kaki kiri
depannya dan berdiri diatas tiga kaki lainnya. Adapun selain onta maka
dibaringkan atas sisinya yang kiri, bila sulit dilakukan maka boleh
dibaringkan diatas sisinya yang kanan. Dan disunnahkan meletakkan
kakinya keleher hewan tersebut,supaya posisinya mapan untuk
menyembelihnya.
4. Memotong kerongkongan dan saluran makanan sebagai tambahan atas memotong dua urat sekitar kerongkongannya.
5. Menyembunyikan pisau dari hewan qurban tersebut, ketika mengasah
pisaunya jangan sampai hewan itu melihatnya. Kecuali disaat
menyembelihnya.
6. Bertakbir setelah membaca basmalah. Membaca basmalah hukumnya wajib
dan bertakbir hukumnya sunnah,setelah membaca بسم الله و الله اكبر
(bismillahi wa Allohu akbar)dia membaca اللهم تقبل هذه عني
(Allohumma taqobbal haadzihi ‘anniy). Bila yang menyembelih adalah
pemiliknya, namun jika pemilik qurban mewakilkan kepada seseorang,
hendaknya dia membaca …….اللهم تقبل هذه عن (Allohumma taqobbal hadzihi
’an……(disebut pemilik qurban)).
7. Hendaklah dia mewakilkan penyembelihan hewan qurbannya kepada
seorang muslim.Dan tidak sah,bila dia mewakilkan kepada seorang ahli
kitab, walaupun sembelihannya halal. Hal ini karena penyembelihan qurban
adalah ibadah, maka tidak sah bila yang melakukannya non muslim.
Dan tak ketinggalan dari masalah qurban adalah waktu penyembelihan
qurban, yaitu empat hari terdiri dari hari I’edul Adha dan tiga hari
tasyrik setelahnya berdasarkan hadits shohih., Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda :” Setiap hari tasyrik adalah hari
penyembelihan.”(HR. Ahmad dan Baihaqi).Sama saja antara malam dan
siangnya,karena ini adalah makna hari (اليوم) dalam bahasa Arab secara
mutlak, dan ini adalah madzab Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullahu.Disyari’atkan bagi yang berqurban makan dari hewan qurbannya,menghadiahkan dan mensedekahkannya, karena Allah Azza Wa Jalla berfirman yang artinya :” Maka makanlah kalian dari sebagian daging sembelihan itu dan beri makanlah orang faqir yang tidak meminta karena merasa cukup dan menjaga harga diri dan oran faqir yang meminta. (QS. Al Hajj : 36)
Serta riwayat dari Salamah Bin Akwa’ bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :”Makanlah oleh kalian dan berilah makan serta simpanlah.”(HR. Al Bukhari)
Dan kadar pembagian daging qurban adalah dibagi menjadi tiga bagian menurut kebiasaan masyarakat, yakni 1/3 yang dia ambil, 1/3 untuk disedekahkan kepada orang miskin sebagai sedekah dan 1/3 dihadiahkan kepada orang kaya.
Sebagai nasehat, kami mengingatkan bahwa tidak boleh menjual dari bagian hewan qurban tersebut, apakah bulunya ataupun kulitnya dan sebagainya. Namun boleh dimanfaatkan, mengubah kulitnya menjadi tempat air dan sebagainya. Dan setelah menjadi tempat air pun tidak boleh dijual dan disewakan.
Beranjak dari hal ini,tidak boleh daging qurban dijadikan upah bagi tukang potong hewan qurban, namun dia menngambil dari yang lain sebagai upahnya.
Dari Ali bin Abi Tholib berkata : Rosululloh Shalallohu ‘Alaihi Wassalam menyuruh aku untuk mengurus qurban-qurbannya dan agar aku membagikan apa yang dikenakannya serta kulitnya, aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan qurban itu, beliau bersabda :”kami akan memberikannya dari sisi yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan perkara yang tak kalah penting, adalah tidak boleh memperuntukkan sembelihan qurban tersebut kepada orang yang telah meninggal secara khusus. Seperti yang dijelaskan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, “Akan tetapi kami memandang bahwa memperuntukkan sembelihan qurban untuk orang yang telah meninggal secara khusus bukan termasuk ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebab beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak pernah menyembelih qurban yang diperuntukkan kepada orang yang telah meninggal secara khusus. Maka Nabi saw Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyembelih qurban untuk pamannya Hamzah bin Abdul Muthallib, padahal beliau termasuk kerabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Demikian juga tidak pernah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya menyembelih qurban untuk anak-anaknya yang telah meninggal di antaranya tiga orang anak perempuan yang sudah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil.”(Ahkaamul Udhiyyah wadzakaah, hal. 4).
Jadi yang dibolehkan ialah ia berqurban untuk keluarganya secara umum baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Akhirul kalam, tidak banyak pembahasan yang bisa kami muat di sini. Namun setidak-tidaknya kita memiliki gambaran untuk melaksanakan ibadah yang mulia ini dengan meniti tuntunan sebaik-baik manusia, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh : Al-Ustadz Abu Miqdad Harits
(Salah Seorang Pengajar di Ma’had Ibnul Qoyyim Balikpapan)
Sumber -> http://www.salafybpp.com
AMALAN SEPUTAR IDUL QURBAN
Beberapa hari pertama dari bulan Dzulhijjah tahun ini telah kita lewati. Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa menerima amal kita dan menghitungnya sebagai amalan yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah ada suatu hari yang amal shalih yang dilakukan padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Masih tersisa bagi kita di awal bulan ini beberapa hari yang memiliki keutamaan khusus dibanding hari-hari yang lain. Yaitu hari Arafah pada tanggal 9 dan keesokan harinya yang merupakan hari raya ‘Idul Adha. Berikutnya tiga hari setelah hari raya yang disebut hari tasyriq. Barangsiapa mengisi hari-hari itu dengan amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia akan meraih keutamaan yang besar.
Para pembaca rahimakumullah. Pada buletin edisi kali akan kami sebutkan secara ringkas makna dari hari-hari tersebut (hari Arafah, hari raya ‘Idul Adha, dan hari-hari tasyriq), keutamaannya, serta amalan apa saja yang dianjurkan pada hari-hari itu, berikut hukum-hukumnya sesuai dengan bimbingan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Namun sebelumnya, penting untuk kita ketahui bahwa di antara amalan yang disyariatkan untuk diperbanyak ketika memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah mengucapkan takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga akhir hari-hari Tasyriq. Ada dua macam takbir yang disyariatkan pada hari-hari tersebut, yaitu Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad.
Takbir Muthlaq dilakukan sejak masuknya bulan Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq. Adapun pelaksanaannya adalah setiap waktu, tidak hanya setiap selesai shalat fardhu. Jadi pensyariatannya bersifat mutlak, oleh karena itulah dinamakan Takbir Muthlaq.
Sedangkan Takbir Muqayyad dilakukan setiap selesai shalat fardhu, dimulai sejak shalat shubuh hari ‘Arafah sampai seusai shalat ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir. Jadi pensyariatannya terikat dengan shalat, oleh karena itu dinamakan dengan Takbir Muqayyad (terikat).
Puasa Arafah
Bagi jama’ah haji, hari Arafah adalah saat yang istimewa. Karena pada hari itulah puncak pelaksanaan manasik haji ditunaikan, yaitu wukuf di padang Arafah. Pada saat itulah Allah subhaanahu wa ta’aalaa memuji dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Dan pada hari itulah, banyak hamba-hamba Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang dibebaskan dari an-naar (api neraka). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka yang lebih banyak daripada hari Arafah, dan sesungguhnya Allah akan mendekat dan kemudian membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)
Bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji pun, juga berkesempatan untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar di hari itu, yaitu dengan berpuasa (‘Arafah).
Walaupun hukumnya sunnah, namun amalan puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah ini memiliki keutamaan yang sangat besar, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
Diterangkan oleh an-Nawawi rahimahullaah bahwa puasa ‘Arafah itu bisa menggugurkan dosa-dosa pelakunya selama dua tahun. Dan yang dimaksud dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Kalau tidak memiliki dosa kecil, diharapkan bisa meringankan beban akibat dosa besarnya. Jika tidak, maka diharapkan akan mengangkat derajat orang yang berpuasa ‘Arafah tersebut. (Syarh Shahih Muslim)
Maka dari itu, seorang muslim hendaknya tidak terlewatkan dari kesempatan meraih keutamaan yang sangat besar ini.
Amalan lain yang juga dikerjakan pada hari Arafah adalah memulai mengumandangkan takbir muqayyad. Yaitu dimulai ketika selesai shalat shubuh sebagaimana telah disinggung di atas. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, kapan lantunan kalimat yang mengandung pengagungan kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa ini diucapkan, apakah setelah istighfar (dalam bacaan dzikir setelah shalat), atau sebelumnya. Menurut Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaah, yang benar adalah takbir muqayyad ini diucapkan setelah istighfar dan kalimat ‘Allahumma antassalam wa minkassalam…’ (Asy-Syarhul Mumti’)
‘Idul Adha
Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya ‘Idul Adha. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan ulama, inilah hari haji akbar yang merupakan hari penunaian manasik haji yang paling utama dan paling tampak, di mana rangkaian manasik haji paling banyak dilaksanakan pada hari itu.
Disebut juga dengan hari nahr (نَحْرٌ), karena pada hari inilah dimulainya pelaksanaan nahr (dzabh atau penyembelihan) terhadap hewan kurban dan hewan hadyu (bagi jama’ah haji).
Inilah hari yang paling agung dan paling baik di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah tabaraka wata’ala adalah hari nahr, kemudian hari al-qarr.” (HR. Abu Dawud)
Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Sebaik-baik hari di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.” (Zadul Ma’ad)
Adapun hari al-qarr adalah sehari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah.
Shalat ‘Idul Adha
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa mengerjakan shalat dua hari raya di mushalla -(secara bahasa artinya tempat shalat)-. Para ulama menerangkan bahwa mushalla yang dimaksud di sini adalah tanah lapang, bukan masjid. Kecuali jika ada halangan, seperti hujan. Dalam kitab Shahih-nya, al-Imam al-Bukhari rahimahullaah meriwayatkan sebuah hadits (yang artinya):
“Adalah Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat.”
Shalat ‘Idul Adha disunnahkan untuk disegerakan pelaksanaannya agar kaum muslimin bisa bersegera menyembelih hewan kurbannya. Karena demikianlah yang afdhal, bersegera melakukan penyembelihan agar daging kurban itu bisa segera dinikmati.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan shalat ‘Id untuk mandi dan mengenakan pakaian yang paling baik sesuai dengan aturan syar’i dalam berpakaian. Bagi laki-laki sangat disukai untuk memakai wewangian, namun tidak bagi wanita.
Sepulang dari shalat ‘Id, disunnahkan untuk melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika berangkat. Kemudian bagi yang berkurban, hendaknya bersegera menyembelih hewan kurbannya. Alhamdulillah pada edisi buletin yang lalu telah dibahas hukum-hukum kurban dan berbagai masalah yang terkait dengannya. Silakan disimak kembali.
Hari Tasyriq
Hari Tasyriq adalah tiga hari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullaah, dinamakan hari tasyriq karena pada hari-hari itu orang-orang melakukan tasyriq (mendendeng) daging kurban dan menjemurnya di terik matahari. (Syarh Shahih Muslim)
Adapun Ibnul ‘Arabi -sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah – mengatakan bahwa dinamakan hari tasyriq karena hewan-hewan sembelihan, baik hadyu maupun kurban itu tidaklah disembelih kecuali sampai matahari mengalami isyraq (terbit dan telah tampak bersinar). (Fathul Bari)
Hari-hari tasyriq juga diistilahkan dengan hari-hari Mina. Karena selama tiga hari ini, jama’ah haji sedang menyempurnakan rangkaian manasik haji mereka di Mina, yaitu mabit (bermalam) dan melempar jumrah di sana.
Disunnahkan pada hari-hari ini untuk memperbanyak dzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat-Nya (artinya):
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksud dengan ‘beberapa hari yang berbilang’ pada ayat tersebut adalah hari-hari tasyriq.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Pada asalnya, berdzikir adalah suatu amalan yang dituntunkan untuk dilakukan setiap saat, kapanpun dan di manapun. Namun ketika Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan berdzikir khusus pada hari-hari tasyriq -sebagaimana dalam konteks ayat di atas-, ini menunjukkan bahwa berdzikir pada hari-hari itu memiliki nilai dan keutamaan yang lebih.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun juga telah menganjurkan umatnya untuk menjadikan hari tasyriq ini sebagai hari-hari untuk berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullaah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan disukainya (disunnahkan) untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari itu (hari-hari tasyriq), berupa takbir dan yang lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim). Baik takbir muthlaq maupun takbir muqayyad. Baik di masjid, di jalan, di rumah, maupun di pasar. Demikianlah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sering dilalaikan oleh kaum muslimin sendiri.
Hadits di atas juga menunjukkan larangan berpuasa pada hari tasyriq. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa hari-hari tersebut adalah saatnya untuk menikmati makanan dan minuman. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus salah seorang shahabatnya yang bernama Abdullah bin Hudzafah radhiyallaahu ‘anhu untuk berkeliling di Mina pada hari tasyriq sambil mengumumkan (yang artinya):
“Hendaknya kalian jangan berpuasa pada hari-hari ini (hari-hari tasyriq), karena itu adalah hari-hari untuk menikmati makanan, minuman, dan hari-hari untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad)
Dikecualikan bagi jamaah haji (tamattu’ dan qiran) yang tidak memiliki hewan hadyu untuk disembelih, boleh bagi mereka berpuasa pada hari-hari itu, sebagai denda karena tidak menyembelih hewan hadyu yang merupakan salah satu kewajiban haji. Ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya (yang artinya):
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (hewan hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.” (Al-Baqarah: 196)
Sehingga bagi kaum mukminin, hari-hari tasyriq merupakan hari yang terkumpul padanya dua kenikmatan, kenikmatan badan (lahir) dan kenikmatan hati (batin). Kenikmatan badan dengan diberikannya kesempatan untuk menikmati makanan dan minuman, terutama daging kurban, karena pada hari itu adalah termasuk waktu yang terlarang untuk berpuasa.
Sedangkan kenikmatan hati adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Karena dzikir itu bisa menenteramkan dan menenangkan hati.
“Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Semoga menjadi bekal ilmu dan amal yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri
http://www.buletin-alilmu.com/amalan-mulia-seputar-idul-adha
(4027) views
“Tidaklah ada suatu hari yang amal shalih yang dilakukan padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Masih tersisa bagi kita di awal bulan ini beberapa hari yang memiliki keutamaan khusus dibanding hari-hari yang lain. Yaitu hari Arafah pada tanggal 9 dan keesokan harinya yang merupakan hari raya ‘Idul Adha. Berikutnya tiga hari setelah hari raya yang disebut hari tasyriq. Barangsiapa mengisi hari-hari itu dengan amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia akan meraih keutamaan yang besar.
Para pembaca rahimakumullah. Pada buletin edisi kali akan kami sebutkan secara ringkas makna dari hari-hari tersebut (hari Arafah, hari raya ‘Idul Adha, dan hari-hari tasyriq), keutamaannya, serta amalan apa saja yang dianjurkan pada hari-hari itu, berikut hukum-hukumnya sesuai dengan bimbingan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Namun sebelumnya, penting untuk kita ketahui bahwa di antara amalan yang disyariatkan untuk diperbanyak ketika memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah mengucapkan takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga akhir hari-hari Tasyriq. Ada dua macam takbir yang disyariatkan pada hari-hari tersebut, yaitu Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad.
Takbir Muthlaq dilakukan sejak masuknya bulan Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq. Adapun pelaksanaannya adalah setiap waktu, tidak hanya setiap selesai shalat fardhu. Jadi pensyariatannya bersifat mutlak, oleh karena itulah dinamakan Takbir Muthlaq.
Sedangkan Takbir Muqayyad dilakukan setiap selesai shalat fardhu, dimulai sejak shalat shubuh hari ‘Arafah sampai seusai shalat ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir. Jadi pensyariatannya terikat dengan shalat, oleh karena itu dinamakan dengan Takbir Muqayyad (terikat).
Puasa Arafah
Bagi jama’ah haji, hari Arafah adalah saat yang istimewa. Karena pada hari itulah puncak pelaksanaan manasik haji ditunaikan, yaitu wukuf di padang Arafah. Pada saat itulah Allah subhaanahu wa ta’aalaa memuji dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Dan pada hari itulah, banyak hamba-hamba Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang dibebaskan dari an-naar (api neraka). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka yang lebih banyak daripada hari Arafah, dan sesungguhnya Allah akan mendekat dan kemudian membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)
Bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan ibadah haji pun, juga berkesempatan untuk mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar di hari itu, yaitu dengan berpuasa (‘Arafah).
Walaupun hukumnya sunnah, namun amalan puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah ini memiliki keutamaan yang sangat besar, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)Diterangkan oleh an-Nawawi rahimahullaah bahwa puasa ‘Arafah itu bisa menggugurkan dosa-dosa pelakunya selama dua tahun. Dan yang dimaksud dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Kalau tidak memiliki dosa kecil, diharapkan bisa meringankan beban akibat dosa besarnya. Jika tidak, maka diharapkan akan mengangkat derajat orang yang berpuasa ‘Arafah tersebut. (Syarh Shahih Muslim)
Maka dari itu, seorang muslim hendaknya tidak terlewatkan dari kesempatan meraih keutamaan yang sangat besar ini.
Amalan lain yang juga dikerjakan pada hari Arafah adalah memulai mengumandangkan takbir muqayyad. Yaitu dimulai ketika selesai shalat shubuh sebagaimana telah disinggung di atas. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, kapan lantunan kalimat yang mengandung pengagungan kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa ini diucapkan, apakah setelah istighfar (dalam bacaan dzikir setelah shalat), atau sebelumnya. Menurut Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaah, yang benar adalah takbir muqayyad ini diucapkan setelah istighfar dan kalimat ‘Allahumma antassalam wa minkassalam…’ (Asy-Syarhul Mumti’)
‘Idul Adha
Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya ‘Idul Adha. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan ulama, inilah hari haji akbar yang merupakan hari penunaian manasik haji yang paling utama dan paling tampak, di mana rangkaian manasik haji paling banyak dilaksanakan pada hari itu.
Disebut juga dengan hari nahr (نَحْرٌ), karena pada hari inilah dimulainya pelaksanaan nahr (dzabh atau penyembelihan) terhadap hewan kurban dan hewan hadyu (bagi jama’ah haji).
Inilah hari yang paling agung dan paling baik di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah tabaraka wata’ala adalah hari nahr, kemudian hari al-qarr.” (HR. Abu Dawud)
Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Sebaik-baik hari di sisi Allah subhaanahu wa ta’aalaa adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.” (Zadul Ma’ad)
Adapun hari al-qarr adalah sehari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah.
Shalat ‘Idul Adha
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa mengerjakan shalat dua hari raya di mushalla -(secara bahasa artinya tempat shalat)-. Para ulama menerangkan bahwa mushalla yang dimaksud di sini adalah tanah lapang, bukan masjid. Kecuali jika ada halangan, seperti hujan. Dalam kitab Shahih-nya, al-Imam al-Bukhari rahimahullaah meriwayatkan sebuah hadits (yang artinya):
“Adalah Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat.”
Shalat ‘Idul Adha disunnahkan untuk disegerakan pelaksanaannya agar kaum muslimin bisa bersegera menyembelih hewan kurbannya. Karena demikianlah yang afdhal, bersegera melakukan penyembelihan agar daging kurban itu bisa segera dinikmati.
Sangat dianjurkan bagi kaum muslimin yang hendak menunaikan shalat ‘Id untuk mandi dan mengenakan pakaian yang paling baik sesuai dengan aturan syar’i dalam berpakaian. Bagi laki-laki sangat disukai untuk memakai wewangian, namun tidak bagi wanita.
Sepulang dari shalat ‘Id, disunnahkan untuk melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika berangkat. Kemudian bagi yang berkurban, hendaknya bersegera menyembelih hewan kurbannya. Alhamdulillah pada edisi buletin yang lalu telah dibahas hukum-hukum kurban dan berbagai masalah yang terkait dengannya. Silakan disimak kembali.
Hari Tasyriq
Hari Tasyriq adalah tiga hari setelah hari nahr, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Menurut al-Imam an-Nawawi rahimahullaah, dinamakan hari tasyriq karena pada hari-hari itu orang-orang melakukan tasyriq (mendendeng) daging kurban dan menjemurnya di terik matahari. (Syarh Shahih Muslim)
Adapun Ibnul ‘Arabi -sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah – mengatakan bahwa dinamakan hari tasyriq karena hewan-hewan sembelihan, baik hadyu maupun kurban itu tidaklah disembelih kecuali sampai matahari mengalami isyraq (terbit dan telah tampak bersinar). (Fathul Bari)
Hari-hari tasyriq juga diistilahkan dengan hari-hari Mina. Karena selama tiga hari ini, jama’ah haji sedang menyempurnakan rangkaian manasik haji mereka di Mina, yaitu mabit (bermalam) dan melempar jumrah di sana.
Disunnahkan pada hari-hari ini untuk memperbanyak dzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat-Nya (artinya):
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Yang dimaksud dengan ‘beberapa hari yang berbilang’ pada ayat tersebut adalah hari-hari tasyriq.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Pada asalnya, berdzikir adalah suatu amalan yang dituntunkan untuk dilakukan setiap saat, kapanpun dan di manapun. Namun ketika Allah subhaanahu wa ta’aalaa memerintahkan berdzikir khusus pada hari-hari tasyriq -sebagaimana dalam konteks ayat di atas-, ini menunjukkan bahwa berdzikir pada hari-hari itu memiliki nilai dan keutamaan yang lebih.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun juga telah menganjurkan umatnya untuk menjadikan hari tasyriq ini sebagai hari-hari untuk berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلّهِ تَعَالَى
“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk menikmati makanan dan
minuman, serta hari-hari untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala.” (HR.
Muslim)Al-Hafizh an-Nawawi rahimahullaah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan disukainya (disunnahkan) untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari itu (hari-hari tasyriq), berupa takbir dan yang lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim). Baik takbir muthlaq maupun takbir muqayyad. Baik di masjid, di jalan, di rumah, maupun di pasar. Demikianlah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sering dilalaikan oleh kaum muslimin sendiri.
Hadits di atas juga menunjukkan larangan berpuasa pada hari tasyriq. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa hari-hari tersebut adalah saatnya untuk menikmati makanan dan minuman. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus salah seorang shahabatnya yang bernama Abdullah bin Hudzafah radhiyallaahu ‘anhu untuk berkeliling di Mina pada hari tasyriq sambil mengumumkan (yang artinya):
“Hendaknya kalian jangan berpuasa pada hari-hari ini (hari-hari tasyriq), karena itu adalah hari-hari untuk menikmati makanan, minuman, dan hari-hari untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad)
Dikecualikan bagi jamaah haji (tamattu’ dan qiran) yang tidak memiliki hewan hadyu untuk disembelih, boleh bagi mereka berpuasa pada hari-hari itu, sebagai denda karena tidak menyembelih hewan hadyu yang merupakan salah satu kewajiban haji. Ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya (yang artinya):
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (hewan hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali.” (Al-Baqarah: 196)
Sehingga bagi kaum mukminin, hari-hari tasyriq merupakan hari yang terkumpul padanya dua kenikmatan, kenikmatan badan (lahir) dan kenikmatan hati (batin). Kenikmatan badan dengan diberikannya kesempatan untuk menikmati makanan dan minuman, terutama daging kurban, karena pada hari itu adalah termasuk waktu yang terlarang untuk berpuasa.
Sedangkan kenikmatan hati adalah dengan banyak berdzikir kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Karena dzikir itu bisa menenteramkan dan menenangkan hati.
“Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Semoga menjadi bekal ilmu dan amal yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri
http://www.buletin-alilmu.com/amalan-mulia-seputar-idul-adha
(4027) views
SEMOGA MENJADI HAJI MABRUR 1435 H/2014
Neter medini di hari ini arafah ramai bertepatan hari jum'at tanggal 3 Oktober 2014, semoga semua jamaah haji di tahun ini diberikan kesabaran, kesehatan, dan pulang menjadi haji yang mabrur wa mabrurah. untuk kita yang belum semoga Allah memeudahkan untuk menjalankan amal ibadah haji sebagai penyempurna agama yang kita junjung yang risalahnya dibawa oleh Rasulullah SAW yang selelu kita minta safaatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)